Cerita ini hasil copas dari buku elektronik Sitor Situmorang yang berbahasa Inggris dan ditranslate di google translate, sehingga alur ceritanya agak kurang beraturan.
Pulau samosir di urat, hiduplah Tuan Sipallat bersama istrinya boru Manurung . Tuan Sipalllat bertempat tinggal di banjar Suhut Ni Huta.
Suatu ketika pecah perang dengan marga sebelah. Tuan Sipallat mengajak keenam saudaranya untuk berperang, namun ditolak. Akhirnya Tuan Sipallat berangkat perang sendiri, ia kalah dan kepalanya dipenggal lalu ditanam jadi batu tangga rumah kepala suku pemenang. Tak lama setelah kekalahan tersebut seluruh marga Situmorang menanggung malu untuk kedua kali. Karena Si Boru Sangkar Sodahali (istri Tuan Sipallat) menikahi kepala suku yang memancung suaminya. Seluruh kepala desa berunding untuk menebus kehormatan mereka di waktu yang tepat dan menetapkan Si Boru Sangkar Sodahali sebagai aib yang harus dibunuh.
Si Boru Sangkar Sodahali sehari-hari bertenun dan membuat Ulos yang indah, suatu malam Si Boru Sangkar Sodahali mengundang suami keduanya untuk tidur di pangkuannya, menikmati rembulan dan elusan tangan istrinya. Sang kepala suku terlelap, istrinya berkata: “Sayang, sudah tidurkah kau. Begitu capek hingga tak sempat bercakap-cakap dengan aku!!”. Sambil mengusap rambut suaminya, Si Boru Sangkar Sodahali mengambil sesuatu dari bawah tikar. Ketika malam sudah mulai sepi ia mengangkat pedang, secepat kilat memacung leher suaminya. Kepala terlepas, darah membasahi tikar dan lantai. Si Boru Sangkar Sodahali berdiri dan mengambil ulos ragi hidup dari peti pusaka. Ia turun kebawah menggali tengkorak suami pertamanya yang tertanam di batu landasan tangga rumah.
Sambil mengucap doa ia membungkus tengkorak itu dalam ulos. Si Boru Sangkar Sodahali kembali ke rumah dibungkusnya kepala suami keduanya dalam tikar. Si Boru Sangkar Sodahali melangkah keluar kampung dan memasuki banjar atau perkampungan marga Suhut Ni Huta, ke tempat marga yang telah memberi kutuk kepadanya. Sesampainya di Suhut Ni Huta ia mengetuk gerbang benteng lalu penjaga terbangun dan kaget: “ bagaimana kau sampai lancang berani memperlihatkan wajahmu di tempat ini, perempuan jahanam!! bukankah sudah cukup kau melacurkan dirimu!! Dan menimbulkan aib kepada kami!! Enyah kau sebelum kami bunuh kau, sekalipun adat yang melarang?
Si Boru Sangkar Sodahali dengan tenang semua sumpah serapah, air matanya bercucur ia menjwab:” saya datang membawa sesuatu untuk kamu”.
“ kami tidak perlu apa dari kamu, tunggu pada waktunya kami akan datang ke tempatmu mengambil yang kami perlukan, kepalamu dan kepala suamimu itu”
Si Boru Sangkar Sodahali berkata :”saya hanya seorang perempuan, bukalah gerbang, izinkan saya masuk. Saya membawa sesuatu yang hendak saya katakan sangat penting buat kamu, terserah kalian aku mau diapakan. Saya hendak bertemu tetua marga. Saya hanya sendiri dan tidak akan pergi sebelum gerbang dibuka.”
Penjaga membangunkan para tetua, mereka berunding, mereka setuju mengijinkan Si Boru Sangkar Sodahali masuk. Setelah tiba Di rumah Si Boru Sangkar Sodahali berkata:” malam ini saya membawa pulang kembali leluhurmu, melunasi utang batin yang menimpa kepada kita semua.” Ia melepaskan gendongan dan memperlihatkan tengkorak suami pertamanya dan kemudian suami keduanya. Para tetua terdiam dan tak dapat berkata apa-apa” sungguh meyakinkan bakti setiamu. Kamu menebus kehormatan kami dengan kehormatanmu. Katakanlah apa yang kau ingin kami lakukan.”
Si Boru Sangkar sodalahi berpesan: “bagaimanapun saya tidak pantas dimaafkan, hanya saja ada permintaanku. Demi kehidupan, demi arwah leluhur- saya minta agar manusia yang dalam kandunganku diterima oleh marga. Agar hatiku damai dan dendam kesumat hapus untuk selamanya."
Tetua adat pun berkata: “maafkanlah kami!! Kamulah sesungguhnya wanita yang berjiwa panglima, panutan marga. Mulai saat ini kedudukanmu pulih dalam marga dan anak dalam kandunganmu akan kami peranak sebagai darah daging kami sendiri.”
Si Boru Sangkar Sodalahi pun melahirkan anak laki-laki diberi nama SI Marsaitan (kelak keturunannya menjadi Situmorang Suhut Ni Huta). Dan Si Boru Sangkar Sodalahi tercatat sebagai leluhur agung, dengan gelar Si Ulubalang Soba, menempati posisi para dewa yang ikut mengatur nasib di Benua Tengah selama-lamanya (menurut catatan sang penulis aslinya).
Situmorang keseluruhan terdiri dari tujuh bersaudara Situmorang Lumban Pande, Situmorang Lumban Nahor, Situmorang Suhut Ni Huta, Tuan Ringo, Sitohang Uruk, Sitohang Tonga-tonga dan Sitohan Toruan.
Sumber: Dari buku Sitor Situmorang sastrawan 45 penyair danau toba (Versi bahasa Inggris yang di translate otomatis.)
Comments